Jumaat, 16 Januari 2009

Pengenalan Tarikat Syattariah

Tarikat Syattariyah


Tarikat Syattariyah adalah aliran tarikat yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Tarikat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopularkan dan berjasa mengembangkannya, iaitu Abdullah asy-Syattar. Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.


Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi atu biasa dikenali Abu Yazid al-Bistami, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarikat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun. Tarikat ini dianggap sebagai suatu tarikat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan amalan.


Hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai Abdullah asy-Syattar. Ia adalah keturunan Syihabuddin Suhrawardi. Kemungkinan besar dilahirkan di salah satu tempat di sekitar Bukhara. Di sini pula ia ditahbiskan secara rasmi menjadi anggota Tarikat Isyqiyah oleh gurunya, Muhammad Arif.


Nisbah asy-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah dua, dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati di dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan illallah (itsbah), juga nampaknya merupakan pengukuhan dari gurunya atas darjat spiritual yang dicapainya yang kemudian membuatnya berhak mendapat limpahan hak dan kelebihan sebagai Washitah (Mursyid). Istilah Syattar sendiri, menurut Najmuddin Kubra, adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah Akhyar dan Abrar. Ketiga istilah ini, dalam hirarki yang sama, kemudian juga dipakai di dalam Tarekat Syattariyah ini. Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan af’al diri (wujud jiwa raga).


Namun kerana kurang terkenalnya dan tidak berkembang Tarekat Isyqiyah ini di tanah kelahirannya, dan bahkan malah semakin pudar akibat perkembangan Tarikat Naqsyabandiyah, Abdullah asy-Syattar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Permulaannya ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah, ia mula terkenal dan berhasil mengembangkan tarikatnya tersebut.


Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarikat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarikat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).


Sepeninggalan Abdullah asy-Syattar, Tarikat Syattariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad A’la, berbangsa Bengali, yang dikenal sebagai Qazan Syattari. Dan muridnya yang paling berperanan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarikat Syattariyah sebagai tarikat yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghaus dari Gwalior (w.1562), keturunan keempat dari Abdullah asy-Syattar. Muhammad Ghaus mendirikan Ghaustiyyah, cabang Syattariyah, yang mempergunakan praktik-praktik yoga. Salah seorang penerusnya Syah Wajihuddin (w.1609), wali besar yang sangat dihormati di Gujarat, adalah seorang penulis buku yang produktif dan pendiri madrasah yang berusia lama. Sampai akhir abad ke-16, tarikat ini telah memiliki pengaruh yang luas di India. Dari wilayah ini Tarekat Syattariyah terus menyebar ke Mekkah, Madinah, dan bahkan sampai ke Nusantara.


Tradisi tarikat yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka, Sibghatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihuddin, dan dia mendirikan zawiyah di Madinah. Syeikh ini tidak saja mengajarkan Tarikat Syattariah, tetapi juga sejumlah tarikat lainnya, misalnya Tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian Tarikat ini disebarluaskan dan dipopularkan ke dunia berbahasa Arab lainnya oleh murid utamanya, Ahmad Syimnawi (w.1619). Begitu juga oleh salah seorang khalifahnya, yang kemudian tampil memegang pucuk pimpinan tarekat tersebut, seorang guru berasal dari Palestin, Ahmad al-Qusyasyi (w.1661).


Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal, Ibrahim al Kurani (w. 1689), yang berasal dariTurki, tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan penganjur Tarikat Syattariyah yang cukup terkenal di wilayah Madinah.


Dua orang yang disebut terakhir di atas, Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, adalah guru kepada Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Tarikat Syattariyah di Nusantara. Namun sebelum Abdul Rauf, telah ada seorang tokoh sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran Syattariyah yang berkembang di Nusantara melalui bukunya Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabi, sebuah karya yang relatif pendek tentang wahdat al-wujud. Ia adalah karya Muhammad bin Fadlullah al-Bunhanpuri (w. 1620), juga salah seorang murid Wajihuddin. Bukunya, Tuhfat al-Mursalat, yang menguraikan metafizik martabat tujuh ini lebih terkenal di Nusantara seiring karya Ibnu Arabi sendiri. Martin van Bruinessen beranggapan bahwa kemungkinan kerana pelbagai ulasan menarik dari kitab ini yang menyatu dengan Tarikat Syattariyah, sehingga ramai murid-murid asal Nusantara yang berguru kepada al-Qusyasyi dan Al-Kurani lebih menyukai tarikat ini berbanding tarikat-tarikat lainnya yang diajarkan oleh kedua guru tersebut. Buku ini kemudian dikutip juga oleh Syamsuddin Sumatrani (w. 1630) dalam ulasannya tentang martabat tujuh, meskipun tidak ada petunjuk atau sumber yang menjelaskan mengenai apakah Syamsuddin menganut tarikat ini. Namun yang jelas, tidak lama setelah kematiannya, Tarekat Syattariyah sangat terkenal di kalangan orang-orang Nusantara yang kembali dari Tanah Arab.


Tarikat Syathariyah pertama kali diasaskan oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Tarikat Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syeikh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syeikh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syeikh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau.


Tarikat Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din berkembang pada empat kelompok, iaitu; Pertama. Silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, Silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, Silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ aI-Qulub.


Berdasarkan silsilah seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tarikat Syaththariyah di Minangkabau masih terpelihara kukuh. Untuk mendukung keberadaan tarikat, kaum Syathariyah mengasaskan pertubuhan rasmi berupa organisasi sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di wilayah berjiran iaitu Riau dan Jambi. Bukti kuat dan kukuhnya keberadaan tarekat Syaththariyah dapat dibuktikan dengan wujudnya kegiatan bersafar ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.


Adapaun ajaran tarikat Syaththariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili. Masalah pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga;


Bahagian Pertama, Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Faham ketuhanan dalam hubungannya dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan faham Wahdat al- Wujud, dengan pengertian bahawa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanent dengan alam, bezanya oleh al-Sinkili ini dijelaskannya dengan menekankan pada ‘transcendence’nya Tuhan dengan alam. la mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki. Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam ‘transcendence’nya, al-Sinkili menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al- ‘alam), Dia selalu memikirkan (berta’akul) tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar (al ‘ayan tsabitah), yaitu potensi dari semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar (al-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya. Ajaran tentang ketuhanan al-Sinkili di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syekh Burhan al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam kitab Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari’at, Tauhid tarekat, dan Tauhid hakikat, iaitu tingkatan penghayatan tauhid yang tinggi.




Bahagian kedua, Insan Kamil atau manusia sempurna. Insan kamil lebih menjurus kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang sebenarnya manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh kerananya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya, sehingga “Ia adalah Dia.” Manusia adalah kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya. Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi–dari Nabi Adam as sampat Nabi Muhammad SAW– dan para qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang sesudah mereka. Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama; Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga; Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.




Bahagian ketiga, jalan kepada Tuhan (Tarikat). Dalam hal ini Tarikat Syaththariyah menekankan pada rekonsiliasi syari’at dan tasawuf, iaitu memadukan tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah la ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawt al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawt al-ma’nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at. (Maknanya kematian sebelum mati-penulis).

Abdul Rauf al-Singkili sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Tanah Arab selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarikat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarikatnya. Kemasyhurannya dengan cepat tersebar ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarikat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarikat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan Tarikat Syaththariyah disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarikat Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid kepada Ibrahim al-Kurani iaitu Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699). Bila dilihat kepada pengamalan dan caranya, terdapat perbezaan antara pengamalan tariqa ini di kawasan lain dengan apa yang diamalkan di Sulawesi.


Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarikat ini dapat ditemukan di Jawa dan Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarikat ini, kata Martin, relatif dapat dengan mudah berpadu dengan berbagai-bagai tradisi setempat; ia menjadi tarikat yang paling “mempribumi” di antara pelbagai tarikat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah pelbagai gagasan metafizik sufi dan pelbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bahagian dari kepercayaan popular orang-orang Jawa.

Tiada ulasan: