Ahad, 24 Mei 2009

Majlis Maulid Dan Ratib 29 Mei hingga 3 Jun 2009

Assalamualaikum wbt.

Para Habaib, Tuan Guru, Tuan Haji dan jamaah sekalian yang dirahmati Allah swt.Dimaklumkan Barnamej Maulid dan Ratib bersama Dr. Habib Ahmad Abdullah al-Kaff (ulamak didikan AL-Azhar, Jordan, Tarim dan Makkah) akan diadakan pada:

29 Mei 2009 di Masjid Bukit Gajah, Pelangai, Karak.

30 Mei 2009 di Masjid Seri Menanti, Negeri Sembilan (di hadiri oleh Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan Darul Khusus).

31 Mei 2009 Masjid Ubudiyah Batu 1, Temerloh, Pahang.

1 Jun 2009 Masjid Jamek Beserah,Kuantan Pahang.

3 Jun 2009 Masjid Janda Baik, Pahang.

Majlis akan bermula pada jam 7 petang,keberkahan anda amat diharapkan untuk bersama, sudilah kiranya untuk anda sebarkan kepada jemaah di kawasan saudara.

Sabtu, 17 Januari 2009

Ajaran, Dzikir dan Contoh Sanad Tarikat Syattariah

Perkembangan mistik tarikat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesedaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak seharusnya melalui tahap fana’. Pengikut Tarikat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak nafas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarikat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tahap Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahsia-rahsia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarikat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, redha, dzikir, dan musyahadah.
Seperti juga tarikat-tarikat lain, Tarikat Syattariyah juga menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya. Tiga kelompok yang disebut di atas, masing-masing memiliki cara berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca al-Qur’an, melaksanakan haji, dan berjihad. Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati. Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan langsung dari ruh-ruh para wali. Menurut pandangan tokoh-tokoh tarikat ini, dzikir Tarikat Syattariah inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.
Di dalam tarekat ini, terdapat tujuh jenis dzikir muqaddimah, sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarikat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan mengenderai atau memandu tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
1. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
2. Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, berbanding itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
3. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihunjamkan ke dalam hati sanubari.
4. Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihunjamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
5. Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, tempat akal). Dzikir ini dilakukan agar fikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
6. Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini bertujuan agar seorang salik sentiasa memiliki kesedaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
7. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut ditutupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)”.
Adapun tujuh jenis nafsu yang harus dipandu tersebut, sebagai berikut:
1. Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut: Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
2. Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, suka menunjuk, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
3. Nafsu Mulhamah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah lembut, tawadhu', taubat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
4. Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang beribadah, syukur, ridha, dan takut kepada Allah SWT.
5. Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadhah, dan menepati janji.
6. Nafsu Mardhiyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
7. Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Khusus untuk dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), tarikat ini membahagi dzikir jenis ini ke dalam tiga jenis. Iaitu:
a) menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain;
b) menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain; dan
c) menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-lain.
Ketiga-tiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan kebenaran segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani mahu pun ruhani.
Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam tarikat-tarikat lainnya, dzikir-dzikir hanya dapat diamalkan melalui bimbingan seorang pembimbing ruhani, guru atau syeikh yang mursyid. Pembimbing ruhani ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan semua kebenaran, tidak bersikap sombong, dan tidak membukakan rahsia-rahsia pandangan batinnya kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Di dalam tarikat ini, guru atau yang biasa diistilahkan dengan wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad SAW melalui Saidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah Puji Wali Kutub; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk), murabiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan menyempurnakan).
Secara terperinci, syarat-syarat penting untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai berikut: makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal; selalu berkata benar; rendah hati; sedikit makan dan sedikit bicara; setia terhadap guru atau syeikhnya; menumpu sepenuh jiwa raga hanya kepada Allah SWT; selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan penyeksaan diri; makan dan minum dari pemberian pelayan; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan memakai pakaian berjahit.
Sanad atau Silsilah Tarikat Syattariyah
Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarikat ini memiliki sanad atau silsilah para wasithahnya yang bersambungan sampai kepada Rasulullah SAW. Para pengikut tarikat ini yakin bahawa Nabi Muhammad SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian seterusnya hingga sekarang. Pelimpahan hak dan kelebihan ini tidak selalu didasarkan atas keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh wasithah jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW sebelum melimpahkan kepada Ali bin Abi Thalib.
Berikut contoh sanad Tarikat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di Indonesia:
Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja’far Syidiq, kepada Abu Yazid al-Busthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada Syekh Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida’ (Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).

Jumaat, 16 Januari 2009

Pengenalan Tarikat Syattariah

Tarikat Syattariyah


Tarikat Syattariyah adalah aliran tarikat yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Tarikat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopularkan dan berjasa mengembangkannya, iaitu Abdullah asy-Syattar. Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.


Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi atu biasa dikenali Abu Yazid al-Bistami, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarikat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun. Tarikat ini dianggap sebagai suatu tarikat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan amalan.


Hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai Abdullah asy-Syattar. Ia adalah keturunan Syihabuddin Suhrawardi. Kemungkinan besar dilahirkan di salah satu tempat di sekitar Bukhara. Di sini pula ia ditahbiskan secara rasmi menjadi anggota Tarikat Isyqiyah oleh gurunya, Muhammad Arif.


Nisbah asy-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah dua, dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati di dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan illallah (itsbah), juga nampaknya merupakan pengukuhan dari gurunya atas darjat spiritual yang dicapainya yang kemudian membuatnya berhak mendapat limpahan hak dan kelebihan sebagai Washitah (Mursyid). Istilah Syattar sendiri, menurut Najmuddin Kubra, adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah Akhyar dan Abrar. Ketiga istilah ini, dalam hirarki yang sama, kemudian juga dipakai di dalam Tarekat Syattariyah ini. Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan af’al diri (wujud jiwa raga).


Namun kerana kurang terkenalnya dan tidak berkembang Tarekat Isyqiyah ini di tanah kelahirannya, dan bahkan malah semakin pudar akibat perkembangan Tarikat Naqsyabandiyah, Abdullah asy-Syattar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Permulaannya ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah, ia mula terkenal dan berhasil mengembangkan tarikatnya tersebut.


Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarikat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarikat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).


Sepeninggalan Abdullah asy-Syattar, Tarikat Syattariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad A’la, berbangsa Bengali, yang dikenal sebagai Qazan Syattari. Dan muridnya yang paling berperanan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarikat Syattariyah sebagai tarikat yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghaus dari Gwalior (w.1562), keturunan keempat dari Abdullah asy-Syattar. Muhammad Ghaus mendirikan Ghaustiyyah, cabang Syattariyah, yang mempergunakan praktik-praktik yoga. Salah seorang penerusnya Syah Wajihuddin (w.1609), wali besar yang sangat dihormati di Gujarat, adalah seorang penulis buku yang produktif dan pendiri madrasah yang berusia lama. Sampai akhir abad ke-16, tarikat ini telah memiliki pengaruh yang luas di India. Dari wilayah ini Tarekat Syattariyah terus menyebar ke Mekkah, Madinah, dan bahkan sampai ke Nusantara.


Tradisi tarikat yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka, Sibghatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihuddin, dan dia mendirikan zawiyah di Madinah. Syeikh ini tidak saja mengajarkan Tarikat Syattariah, tetapi juga sejumlah tarikat lainnya, misalnya Tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian Tarikat ini disebarluaskan dan dipopularkan ke dunia berbahasa Arab lainnya oleh murid utamanya, Ahmad Syimnawi (w.1619). Begitu juga oleh salah seorang khalifahnya, yang kemudian tampil memegang pucuk pimpinan tarekat tersebut, seorang guru berasal dari Palestin, Ahmad al-Qusyasyi (w.1661).


Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal, Ibrahim al Kurani (w. 1689), yang berasal dariTurki, tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan penganjur Tarikat Syattariyah yang cukup terkenal di wilayah Madinah.


Dua orang yang disebut terakhir di atas, Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, adalah guru kepada Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Tarikat Syattariyah di Nusantara. Namun sebelum Abdul Rauf, telah ada seorang tokoh sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran Syattariyah yang berkembang di Nusantara melalui bukunya Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabi, sebuah karya yang relatif pendek tentang wahdat al-wujud. Ia adalah karya Muhammad bin Fadlullah al-Bunhanpuri (w. 1620), juga salah seorang murid Wajihuddin. Bukunya, Tuhfat al-Mursalat, yang menguraikan metafizik martabat tujuh ini lebih terkenal di Nusantara seiring karya Ibnu Arabi sendiri. Martin van Bruinessen beranggapan bahwa kemungkinan kerana pelbagai ulasan menarik dari kitab ini yang menyatu dengan Tarikat Syattariyah, sehingga ramai murid-murid asal Nusantara yang berguru kepada al-Qusyasyi dan Al-Kurani lebih menyukai tarikat ini berbanding tarikat-tarikat lainnya yang diajarkan oleh kedua guru tersebut. Buku ini kemudian dikutip juga oleh Syamsuddin Sumatrani (w. 1630) dalam ulasannya tentang martabat tujuh, meskipun tidak ada petunjuk atau sumber yang menjelaskan mengenai apakah Syamsuddin menganut tarikat ini. Namun yang jelas, tidak lama setelah kematiannya, Tarekat Syattariyah sangat terkenal di kalangan orang-orang Nusantara yang kembali dari Tanah Arab.


Tarikat Syathariyah pertama kali diasaskan oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Tarikat Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syeikh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syeikh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syeikh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau.


Tarikat Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din berkembang pada empat kelompok, iaitu; Pertama. Silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, Silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, Silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ aI-Qulub.


Berdasarkan silsilah seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tarikat Syaththariyah di Minangkabau masih terpelihara kukuh. Untuk mendukung keberadaan tarikat, kaum Syathariyah mengasaskan pertubuhan rasmi berupa organisasi sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di wilayah berjiran iaitu Riau dan Jambi. Bukti kuat dan kukuhnya keberadaan tarekat Syaththariyah dapat dibuktikan dengan wujudnya kegiatan bersafar ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.


Adapaun ajaran tarikat Syaththariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili. Masalah pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga;


Bahagian Pertama, Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Faham ketuhanan dalam hubungannya dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan faham Wahdat al- Wujud, dengan pengertian bahawa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanent dengan alam, bezanya oleh al-Sinkili ini dijelaskannya dengan menekankan pada ‘transcendence’nya Tuhan dengan alam. la mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki. Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam ‘transcendence’nya, al-Sinkili menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al- ‘alam), Dia selalu memikirkan (berta’akul) tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar (al ‘ayan tsabitah), yaitu potensi dari semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar (al-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya. Ajaran tentang ketuhanan al-Sinkili di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syekh Burhan al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam kitab Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari’at, Tauhid tarekat, dan Tauhid hakikat, iaitu tingkatan penghayatan tauhid yang tinggi.




Bahagian kedua, Insan Kamil atau manusia sempurna. Insan kamil lebih menjurus kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang sebenarnya manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh kerananya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya, sehingga “Ia adalah Dia.” Manusia adalah kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya. Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi–dari Nabi Adam as sampat Nabi Muhammad SAW– dan para qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang sesudah mereka. Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama; Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga; Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.




Bahagian ketiga, jalan kepada Tuhan (Tarikat). Dalam hal ini Tarikat Syaththariyah menekankan pada rekonsiliasi syari’at dan tasawuf, iaitu memadukan tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah la ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawt al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawt al-ma’nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at. (Maknanya kematian sebelum mati-penulis).

Abdul Rauf al-Singkili sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Tanah Arab selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarikat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarikatnya. Kemasyhurannya dengan cepat tersebar ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarikat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarikat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan Tarikat Syaththariyah disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarikat Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid kepada Ibrahim al-Kurani iaitu Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699). Bila dilihat kepada pengamalan dan caranya, terdapat perbezaan antara pengamalan tariqa ini di kawasan lain dengan apa yang diamalkan di Sulawesi.


Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarikat ini dapat ditemukan di Jawa dan Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarikat ini, kata Martin, relatif dapat dengan mudah berpadu dengan berbagai-bagai tradisi setempat; ia menjadi tarikat yang paling “mempribumi” di antara pelbagai tarikat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah pelbagai gagasan metafizik sufi dan pelbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bahagian dari kepercayaan popular orang-orang Jawa.

Mengambil Jalan Tariqah Ba ‘Alawi (Terjemahan dari Iqra’ Islamic Publication)

Berikut merupakan salah satu artikel yang telah diterjemahkan oleh saya dari Iqra’ Islamic Publication. Artikel ini adalah mengenai jalan Tariq Ba 'Alawi yang biasa diamalkan. Akan tetapi susah juga nak menemui mursyid tariq ini. Antara amalan-amalan dalam Tariqa ini adalah wirid Abi Bakr As-Sakran, Ratib Al-Haddad, Ratib Al-Attas dan Wirdul Latif iaitu wirid pagi dan petang. Ratiban dan wiridan ini adalah amalan-amalan tariqat ini selain dari hizb-hizb yang turut dibaca bersama. Tariqat ini adalah jalan pertengahan antara Tariq Ghazaliyah dan Tariq Syadziliah. Berikut adalah terjemahan nya:-


Mengambil Jalan Tariqah Ba ‘Alawi (Terjemahan dari Iqra’ Islamic Publication)


Bismillah

Assalamualaikum

Bagaimana caranya seseorang mengambil tariqah Ba ‘Alawi?

Abdul Latif


Walaikum us salaam saudara Abdul Latif,

Semoga Allah swt memberikan ganjaran kepada anda kerana bertanyakan kepada saya soalan yang begitu ikhlas.


Kami mengambil wudhu’ berniat untuk mengambil tariqat Ba ‘Alawi dan bersembahyang sunat dua rakaat (sunat taubat) memohon kepada Allah swt diampunkan dosa. Allah swt kemudian membukakan pintu kepada kita.


Kami cuba mencari jika ada sheikh atau perkumpulan zikir yang mengamalkan Tariqah Ba ‘Alawi di tempat kita. Kita menanggotai nya dan dapatkan barakah dengan cara berterusan berzikir kepada Allah swt dan berselawat ke atas Nabi Muhammad saw.


Kemudian kami mula tahu bahawa Ba Alawi adalah keturunan yang mulia dari Nabi kita yang dicintai dan dimuliakan Nabi Muhammad saw yang pada asalnya keluarga Ba Alawi ini tinggal di Yaman tetapi telah mengembara dan menetap di pelbagai tempat di dunia seperti Indonesia, Malaysia, Singapore, India, Myanmar dan Afrika Timur untuk menyebarkan Islam Kami juga telah mengetahui bahawa Tariqah Ba Alawi ini adalah berasaskan kepada ajaran-ajaran al-Quran dan Sunnah.


Jika tiada kumpulan zikir Ba Alawi di tempat kami, kami akan pergi ke tempat yang terdekat yang mempunyi perkumpulan tariqah Ba Alawi. Kami cuba bersama mereka walaupun untuk sekali dalam sebulan, pelajri awraad dan adzkar seperti Ratib Al-Haddad dan Ratib Al-‘Attas. Apabila telah mempelajarinya, kita boleh mengadakan acara mauled dan zikir di tempat kita dengan mendapatkan keizinan dari seorang syeikh dlam Tariqah Ba Alawi.


Jika perkumpulan zikir yang paling dekat pun adalah terlalu jauh untuk kita, kita boleh membacakan surah Yasin setiap selepas solat subuh dan membaca Ratib Al-Haddad selepas solat Isyak. Adalah lebih barakah jika ia dilakukan dengan mendapat keizinan daripada seorang syeikh.


Jika kita mempunyai masa, adalah baik untuk bersama-sama mengikuti acara mauled dan zikir perkumpulan-perkumpulan tariqah lain seperti Qadiriyah, Rifaiyyah, Shaziliyah, Chistiyah dan Naqsyabandiyah (Ahmadiah Idrissiah, Syattariah pun boleh) untuk memperoleh barakah dari majlis mereka juga. Kesemua jalan tariqah ini menuju kepada Allah swt.


Sepanjang masa kita akan mendengar mengenai seorang syeikh yang besar dari tariqah Ba Alawi. Apabila orang mendengar mengenai sheikh Al-Habib Ahmad Mashhur bin Thaha Al-Haddad RA, mereka akan beprgian dari jauh untuk berjumpa dengan nya. Beberapa orang Islam yang terkenal yang menemuinya adalah Syeikh Abdul Hakim Murad dari UK, Sheikh Hamza Yusuf dari USA, dan saudara Ebrahim Kreps dari Canada. Ramai dating untuk mengambil baiat ditangan nya sementara yang lain ingin mendapat barakah berada bersama-samanya dan juga kerana ingin bersama dengan Habaib (keturunan yang mulia dari Nabi kita yang dicintai dan dimuliakan Nabi Muhammad saw).


Dr. Mostafa Al-Badawi biasa bepergian sekali seminggu ke Jeddah untuk bersama-sama dengan syeikh yang dicintainya.


Jika Allah swt meletakkan anda bersama-sama dengan syeikh seperti itu, seluruh kehidupan anda akan berubah supaya anda tetap di atas jalan istighfar iaitu sentiasa memohon keampunan kepada Allah swt. Tidak ternilai kesyukuran atas kurniaan dan nikmat yang besar ini dianugerahkan Allah.


Semoga Allah swt membangkitkan kita bersama orang-orang tua kita di Hari Pembalasan dengan bertemankan al-Habib di bawah Liwa’ al-Hamd (Bendera Pujian) dari Habib al-A’zam Nabi kita yang dicintai dan dimuliakan Nabi Muhammad saw. Amin


Dengan limpahan salam dan doa,

Siddiq

Khamis, 11 September 2008

Amalan Hizib dan Ucapan Syeikh Abu-l Hassan Al Syadzuli

Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah,pengamalan tareqat ini di Nusantara dalam banyak tempat lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang dijumpai,tidak seperti para pengamal Tariqat-tariqat Naqsyabandiah, Qadiriah atau Ahmadiah Idrisiah. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kelebihan-kelebihan spiritual. Para pengamal tariqat ini mempelajari berbagai hizib (jamak ahzab), paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang mursyid dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.
Hizb al-Bahr, Hizb Nashr, disamping Hizb al-Hafidzah, merupakan antara Hizib yang sangat terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini disampaikan kepadanya oleh Nabi SAW. sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan. Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di Nusantara, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan spiritual doa ini hanya dapat diperolehi dengan berpuasa atau bermujahadah dibawah bimbingan guru.
Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, juga digunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti yang diamalkan oleh pengikut-pengikut Tareqat Ahmadiah Idrisiah, Rifai’yah dan Qadiriyah. Mereka yang ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; tapi lebih merupakan doa-doa perlindungan mengandungi Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A’zhim) serta ayat-ayat al-Quran dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkah dan menghasilkan tindakbalas luar biasa. Mengenai penggunaan hizib, wirid, dan doa, para syeikh tareqat biasanya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan peribadi. Akan tetapi mereka tidak bersetuju murid-murid mereka mengamalkannya tanpa keizinan.
Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tariqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, India, Sri Lanka, Indonesia, Malaysia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- Madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-Handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.
Yang menarik dari falsafah tasawuf Asy-Syadzily, kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan penekanan simbolik mengenai ajaran utama dari tasawuf atau Tarikat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat hebat.
Di antara Ucapan Syeikh Abul Hasan asy-Syadzili:
1. Penglihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku bermohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya ” Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuat mu kuat memiliki-Nya.”Maka akupun memohon kekuatan dari Dia dan Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!
2. Aku dipesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): “Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkn keredhaan Allah, dan jangan duduk dimajlis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah.”
3. Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ikhtiar sendiri.
4. Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat keperluanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.
5. Seorang arif adalah orang yang megetahui rahsia-rahsia kurniaan Allah di dalam berbagai-bagai macam bala’ yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya.
6. Sedikit amal dengan mengakui kurnia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.
7. Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mukmin yang berbuat dosa, nescaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : “Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.

Selasa, 9 September 2008

Tarikat Syadzuliah, Zikir dan Pengaruhnya

Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijrah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang yang mensyarahkan kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pemikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil (kosong), dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebergantungan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi kesyukuran kepada kita.”

Mengenai zikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syeikh di pusat lingkaran atau dihujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijaksanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai mahupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha’ilah berikut: “Asma al-Latif,” Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafazkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, “Yang Mengalahkan” sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.

Tareqat Syadziliya menarik terutama sekali golongan kelas menengah, pengusaha, penguasa dan pengawai negeri. Mungkin karena kaedah yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah “ketenangan” yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha’illah dan Ibn Abbad ar-Rundi. A Schimmel menyebutkan bahawa hal ini dapat difahami bila dilihat dari sumber yang dicontohi oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri’ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Contoh lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghazali. Ciri “ketenangan” ini tentu saja tidak begitu menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang menginginkan cara-cara yang lebih mencabar untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.

Disamping Ar-Risalah oleh Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya’ oleh Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.

Jumaat, 15 Ogos 2008

Pengenalan Kepada Tariqat Nimatullahi

Pengenalan Kepada Tariqat Nimatullahi.

Ini adalah artikel yang telah diterjemah kan oleh saya dari satu laman web Tariqat Nimatullahi dari USA. Saya tak berapa pasti macam mana pegangan tarikat ini, adakah ia mengikuti aliran Syiah atau tidak. Akan tetapi dari pembacaan saya yang lebih kurang, syeikh-syeikh yang menjadi ikutan dan panutan mereka adalah dari golongan Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Jika dibandingkan diri mereka ini dengan golongan Syiah Ghulat, samada Imamiah Akbari atau Usuli, mereka ini begitu toleran. Golongan ini juga banyak dimusuhi dan dianiaya oleh golongan-golongan Ayatollah di Iran. Mungkin toleransi mereka dengan golongan Sunni menjadi ancaman pada golongan Ayatollah Syiah ini. sebagai mana yang dimaklumi, kekuatan pengaruh Ayatollah banyak bergantung kepada ramainya para pengikut masing-masing. Berikut adalah artikel yang ditulis:-

Hazrat Syed Nuruddin Shah Nimatullah Wali merupakan salah seorang daripada guru sufi yang terkenal dan merupakan salah seorang daripada penyair Iran yang terkenal dalam kurun ke 14 dan ke 15 Masehi. Dalam kesufian, beliau tergolong dalam Golongan Ma’rufi dan merupakan salah seorang penuntut kepada Sheikh Abdullah Yafei yang meninggal di Mekah pada tahun 768 Hijrah (1362 M).

Golongan Ma’rufi adalah tariqat yang berasal daripada Sheikh Ma’ruf Karkhi hingga lah kepada Imam Ali ar-Reza, yang dijadikan oleh orang-orang Syiah sebagai imam kelapan mereka. Petunjuk dan pengajaran sufi yang dibawa oleh Shah Nimatullah Wali diterima diwaktu ramai orang mengatakan diri mereka sufi walaupun tidak mengetahui tentang kesufian sebenar. Oleh itu, kedatangan Shah Nimatullah Wali menyebabkan tariqat dari cabang Ma’rufi diterima ramai dan bertapak di Iran dan banyak lagi negeri-negeri Islam lain pada waktu itu. Penuntut-penuntut dari Cabang Ma’rufi ini kemudiannya menamakan tariqat ini sempena nama Shah Nimatullah Wali dan kemudiannya terkenal dengan nama Nimatullahi.

Selain daripada menjadi guru sufi yang terulung di Iran, beliau juga adalah merupakan antara golongan ilmuwan dan penyair yang terkenal di Iran. Dilihat dari segi hasil penulisannya yang begitu banyak lebih kurang 500 buah artikel dan karangan mengenai kesufian dan mistik menunjukkan satu kelainan dan kejarangan bagi seorang guru sufi menulis sebegini banyak. Koleksi sajaknya yang sebanyak 12000 bait memperkatakan tentang konsep-konsep mistik yang ditulis dengan cara simbolik.

Dalam tahap akhir kehdupan beliau, Shah Nimatullah Wali telah membina satu Khaneqah yang besar di Mahan berdekatan dengan Kerman di selatan Iran dimana tempat itu telah dijadikan pusat pengajaran menuntut ilmu. Beliau kemudian meninggal disitu pada tahun 834 Hijrah. Khaneqah itu kemudian diperbesarkan oleh para pengikutnya sepanjang abad kemudiannya dan pada hari ini binaan itu dikatakan antara mercutanda yang tercantik dan terhebat di Iran.

Selepas kematian Shah Nimatullah Wali, anaknya Shah Khalilullah yang juga merupakan penggantinya telah berpindah ke Dekan di India dimana tariqat ini terus berkembang selama tiga abad hinggalah kepada murshid pada waktu itu Rida Ali Shah menghantar dua orang sheikhnya ke Iran untuk memperkembangkan kembali ajaran tariqat itu di Iran.

Di masa zaman Hajj Sultan Muhammad Gonabadi yang terkenal sebagia Sultan Ali Shah 9lahir di Gonabad, Khurasan pada 1251 H / 1835 M), tariqat Nimatullah kembali terkenal dan pada waktu sekarang lebih dikenali dengan nama Nimatullah Gonabadi atau Nimatullah Sultan Ali Shah. Tariqat ini merupakan cabang yang terbesar dan paling terkenal yang diamalkan di Iran pada waktu ini.