Selasa, 9 September 2008

Tarikat Syadzuliah, Zikir dan Pengaruhnya

Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijrah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang yang mensyarahkan kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pemikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil (kosong), dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebergantungan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi kesyukuran kepada kita.”

Mengenai zikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syeikh di pusat lingkaran atau dihujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijaksanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai mahupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha’ilah berikut: “Asma al-Latif,” Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafazkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, “Yang Mengalahkan” sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.

Tareqat Syadziliya menarik terutama sekali golongan kelas menengah, pengusaha, penguasa dan pengawai negeri. Mungkin karena kaedah yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah “ketenangan” yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha’illah dan Ibn Abbad ar-Rundi. A Schimmel menyebutkan bahawa hal ini dapat difahami bila dilihat dari sumber yang dicontohi oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri’ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Contoh lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghazali. Ciri “ketenangan” ini tentu saja tidak begitu menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang menginginkan cara-cara yang lebih mencabar untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.

Disamping Ar-Risalah oleh Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya’ oleh Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.

Tiada ulasan: